Cerita ini tentang sahabat-sahabatku yang wonderfull,, amazing bgt..
Sejak Sd sampai sekarang kuliah,, aku selalu dikelilingi oelh orang-orang baik yang kunamakan sahabat. Mereka bagai keluarga kedua bagiku. Mereka selalu ada buat aku. Tak perduli bagaimana keadaanku, mereka selalu setia disampingku. Tak perduli bagaimana sikapku, mereka selalu mendukungku. Dan tak perduli apa yang aku lakukan, mereka selalu tersenyum untukku.
Waktu SD aku sempat dimusuhi teman-teman sekelasku. Sehingatku waktu itu aku kelas 5. Entah kenapa guru-guru sangat menyayangiku, perlakuan mereka kepadaku sedikit berbeda dengan teman-temanku yang lain. Aku pun tak mengerti kenapa. Padahal aku biasa-biasa saja. Prestasiku biasa, orang tuaku biasa, dan semuanya biasa saja. Hemh,, mungkin karna aku imut dan lucu.. heuheuheu.. entah itu guru perempuan atau laki-laki semuanya memperlakukan aku sedikit istimewa. Mungkin hal ini yang membuat teman-teman sekelasku menjauhiku, memusuhiku, dan mengasingkanku. Namun, bagai mendapat air di tengah-tengah gurun pasir yang panas, datang seorang sahabat yang merangkulku keluar dari keadaan ini. Benar apa kata pepatah yang entah siapa pengarangnya “sahabat adalah satu-satu orang yang mendekatimu disaat seluruh dunia menjauhimu”.. namanya Yati, cwe manis ini tinggal agak jauh dari rumahku. Rumahnya di pinggir tebing. Aku sering main ke rumahnya, hanya untuk mengerjakan tugas, ngaliwet, atau mencari tanah liat. Heu, dulu aku aktif banget. Setelah lulus SD, aku masuk SMP yang berbeda dengannya. Tapi yang kudengar, dia tak melanjutkan sekolah. Hmh,, dari sana aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mendengar kabarnya pun tak ada.
Beralih ke SMP. Disini sahabatku makin banyak. Kami tidak beerniat membentuk genk, tapi keadaan yang memaksa kami untuk tanpa sengaja melakukannya. Karna membentuk sebuah kelompok itu perlu, itu kata dosen sosiologi aku. Saat SMP kelas 1 aku berbarengan dengan Entin, Heni dan Ina merajut kehidupan di sekolah menengah pertama SMP 1 Lembang. Kami sangat akrab, walaupun baru kenal, kami seakan sudah bersahabat selama bertahun-tahun. Namanya juga SMP, tak banyak yang kami lakukan. Hanya sekolah, belajar dan ngeceng. Disini hormon pertumbuhan kami bertambah, jadi wajar lah ada ketertarikan dengan lawan jenis, heu, pelajaran biologi. Hal membahagiakan sampai menyedihkan kami lewati bersama sampai akhirnya kami harus dipecah menjadi beberapa bagian. Ina terpaksa pindah ke Jawa tengah ikut orang tuanya. Aku sekolah pagi sedangkan entin dan heni mereka sekolah siang, dengan berbeda kelas tentunya. Hari-hari di kelas dua aku jalani tanpa mereka dan aku pun mempunyai sahabat baru. Eka namanya. Dia cwe tomboi yang mengingatkanku pada teman SD ku, Wardini. Heu, aku dan Eka baik-baik saja sampai ada satu peristiwa yang aku pun tak tau mengapa yang membuat Eka menjauhiku, memusuhiku, mengasingkanku, sampai sekarang..
Hubunganku dengan entin, heni dan ina malah bertambah akrab. Aku, entin dan heni sering mengirim surat kepada ina. Waktu itu belum populer alat komunikasi HP dan internet, heuheuheu.. namun menginjak kelas 3 SMP, semuanya bubar, hanya Heni yang tersisa menemaniku. Naik ke kelas 3, ntin pun pindah sekolah tanpa pemberitahuan sebelumnya, air mataku menetes kala mendengar beritanya. Kelas 3 yang ditunggu-tunggu,, saat semua siswa kembali ke kelas 1, aku malah kehilangan 2 sahabatku. Tapi aku menerimanya dengan ikhlas. Akhirnya, aku menemukan sahabat baru lagi. Mereka Intan dan Oin. Mereka agak berbeda denganku, lingkungan, gaya hidup dan sifat tentunya. Namun dari perbedaan itu, kami dapat bersatu membasmi kejahatan, heuheuheu.. bersatu menghadapi tantangan, UAN 2004. Kami pun menjadi sahabat baik, karena kemajuan teknologi, kami jadi sering berkomunikasi dan g lost contact walopun kami berbeda SMA. Intan masuk SMA di daerah lain, Heni masuk SMK, aku dan oin masuk SMA yang sama namun berbeda kelas. Aku duduk di kelas 10B sedangkan oin 10F. Walopun berbeda sma, tapi kami tetap bersahabat.
Di kelas 10B, aku mendapat sahabat baru, yiyi, lina, rika, syarifah, dan marieng, he, maria maksudnya. Di SMA masalahnya lebih kompleks. Aku sempat renggang dengan oin karna salah paham, namun itu tak lama. Persahabatan memang akan selalu abadi. Kami pun bersama-sama mengahadapi perubahan dunia, he.. karena teknologi yang semakin canggih, aku dan sahabat-sahabatku selalu bersama, walaupun jarak kami berjauhan, apa lagi setelah kami lulus SMA. Semuanya terpencar ke pelosok negeri, heuheu..
Aku melanjutkan studi ke universitas yang berjarak 10 KM dari rumahku. Universitas Pendidikan Indonesia Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Manajemen Industri Katering. Di UPI, aku lebih banyak menemukan sahabat, Suci, Yati, Sufi, Aidha, Teh Santi, Ane, Rima, Tri, dan banyak lagi. Di sini masalah yang datang lebih kompleks, beragam dan bermacam-macam. Kami selalu keep together menghadapi setiap problem yang timbul. Terlebih saat aku berangkat ke Malaysia dengan Sufi untuk Program Latihan Akademik.
Sama sekali tak terbayangkan keadaannya akan seperti itu. Tempat PLA yang aku idam-idamkan di pinggir pantai, sebuah pulau di Penang, Pulau Jerejak. Jerejak Resort & Spa memang tempat yang indah. Namun, karena kekurangan staf, kami, para training mesti bekerja seperti staf, lebih malahan. Ditambah lagi kehadiran Head Chef yang tempramental. Satu-satunya hal yang bikin aku syok. Ingin rasanya aku pulang saat itu juga. Namun, Sufi menguatkanku. Dia mengingatkan aku dengan niat pertama aku datang ke sini. Dibanding aku, dia jarang sekali menangis. Dia cwe tertegar yang pernah aku temui. Dia menguatkan aku, selalu. Selama satu bulan setengah kami disana, menderita dan bersenang-senang. Tak selamanya kami merasa tersiksa. Saat jam kerja berakhir, kami para training pergi bersenang-senang. Menikmati hidup layaknya anak muda. Jalan-jalan ke Mal, Queens Bay, nongkrong di pinggir pantai, belanja, dan makan. Yah, biar bagaimana pun hidup itu indah. Aku merasa menderita karena mungkin karena aku belum pernah bekerja sebelumnya, never. Tapi saat diberitahukan bahwa sebagian dari rombongan kami akan dipindahkan ke Kuala Lumpur, batinku menolak, air mataku menetes. Berat meninggalkan Jerejak. Aku sudah terbiasa dengan semuanya dan aku ga mau menyesuakan diri lagi dengan tempat baru. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Training F & B harus di switch dengan training di KL agar ilmu kami bertambah, itu kata manajer training kami.
Kehidupan baru pun kami jalani di KL. Tidak begitu berat. Kami diperlakukan layaknya training. Tak butuh waktu lama untuk kami menyesuaikan diri dengan kitchen di KL. Kami lebih santai dan menikmati kegiatan kami. Namun, kenyamanan ini tidak membuat Aku dan Sufi bertambah dekat. Kami malah renggang. Entah apa yang aku pikirkan, tapi aku ga suka Sufi membantuku. Aku sempat bermusuhan dengannya. Namun itu hanya sebentar saja, hanya 12 jam saja, heu.. kami pun menyadari kalau sebenarnya kami saling membutuhkan, terlebih aku yang sangat membutuhkannya. Aku selalu membutuhkan sahabat di setiap hela nafasku.
Sepulangnya kami dari Malaysia, aku bertambah sadar kalau aku ga bisa hidup tanpa sahabatku. Tanpa mereka, aku ga mungkin bisa seperti ini.
Tapi, baru-baru ini, aku sedikit banyak disibukan dengan kegiatan kuliah, aku tengah menyusun skripsi. Namun mungkin sebenarnya bukan itu. Kepalaku disibukan oleh pikiran-pikiran yang ga penting. Hal-hal yang seharusnya tidak aku pikirkan, yang membuatku ingin menyendiri, hanya sendiri. Kesempatan-kesempatan yang seharusnya aku pakai untuk bersama-sama bersama sahabat aku buang dengan percuma hanya untuk tidur, makan, nonton tv, tidur lagi. Hah.. hidupku benar-benar terpuruk. Hehe, bukan terpuruk gimana gitu hanya saja aku seperti kebingungan, hilang arah. Pikiranku melayang. Aku terkena racun dari “mahluk mars”!
Saturday, January 8, 2011
Thursday, January 6, 2011
Akhir tahun di Polrestabes
Kali ini aku ingin berbagi pengalaman pertamaku dapet surat tilang dari polisi, he..
Ceritanya, tanggal 16 Desember 2010, aku melanggar pasal 29 bla bla bla, mungkin isinya tentang tidak memakai helm strandar SNI atau yang sejenisnya. Memang, hari itu aku membonceng teh Leni dari gerbang atas UPI sampai kosannya di belakang terminal Ledeng. Namun, di tengah perjalanan, seorang polisi –yang memang selalu dan sepertinya selamanya bertugas disitu- menyuruhku menepikan mio-ku. Dia menanyakan SIM-ku lalu dengan sepontan aku mengeluarkannya dan ia mengambilnya. Ia pun menyebrang, menuju pos –payung besar- nya. Seseorang memberitahuku untuk mengikutinya.
“Aduh, gimana dong piet?” panik teh Leni.
“Nyante z teh,” sahutku. Heuheu, padahal jantungku dah gak karuan coz ini pertama kalinya aku melanggar peraturan.
Aku pun mengikuti pak polisi itu. Dia mencatat data-dataku di selembar kertas berwarna merah muda. Sembari menunggu surat tilangku selesai, aku melihat secarik kertas yang dilaminating, kertas itu bertuliskan pelanggaran dan denda yang harus dibayar. Untuk pelanggaranku di sana tertulis Rp. 250.000,-. Aku dan teh Leni kaget setengah mati, ya,, untuk ukuran mahasiswi, 10 ribu z terasa 10.000.000 apalagi 250.000, hehehe.. hemh,,, ya sudah lah,, ini konsekuensi yang harus aku bayar, mungkin.. Aku pun pergi meninggalkan pos itu. Aku cerita ke setiap orang yang aku temui. Dan mereka bilang “koq kamu bangga sih??”. He, sebenarnya bukan bangga sih,, cuman pengen bilang-bilang za.. heuheu.. Lalu dari data yang aku peroleh, he, skripsi kalee,, katanya dendanya g kan lebih dari 50ribu. Hem, bebanku mulai agak berkurang, namun teh Leni sepertinya masih dibayang-bayangi rasa bersalah, dia menyelipkan uang 100ribu ke saku seragamku. Aku pun kaget, sepontan aku mengembalikannya dan meyakinkan dia bahwa dendanya ga kan sebesar itu. Aku pun berjanji akan mengajaknya di persidangan nanti, 2 minggu lagi.
Hari itu pun tiba, Selasa 28 Desember 2010, jam 9 tepat kami tiba di polrestabes Bandung. Dan kami dikagetkan oleh sejumlah sepeda motor yang berjenjreng sepanjang jalan kenangan, he, jalan LRE Martadinata yang deket polres –penulis ga tau nama jalan itu-.
“Pit, kq banyakan?! Kirain Cuma kita..” kata teh Leni.
“iya teh,, gapapa atuh jadi ga sendirian”, jawabku.
Dan ternyata kiiiitaaaaa..... ga sendirian banget!! Ada mungkin ratusan orang yang ngantri di pintu masuk ruang persidangan (bahkan katanya mpe 2000 orang). Hufh,,, curiga g kan pulang cepet nie. Kecurigaanku itu terbukti, kami pulang pukul 3 tepat!! Proses yang berbelit-belit membuat kami –para pelanggar peraturan pemerintah- harus mengorbankan sejumlah waktu dan tenaga. Untuk keterangan lebih lanjut, mari kita simak prosenya:
1. Masuk melalui pintu masuk –he, ya iya lah..!- kalau banyak orang, terpaksa mengantri sekitar 15-30 menit.
2. Setelah masuk, cek surat tilang kita, nomornya dan barang bukti yang disita. Kalau tidak salah ruang sidang disana diberi nama seperti nama pewayangan, nakula, sadewa, etc.
3. Kalau masih ragu, tanyakan ke petugas yang ada –kalau ada- dan jangan sambil ngotot ya, hehe.. jangan sampai kaya aku. Masuk keruangan yang salah trus selama 1 jam terhimpit di antara bapak-bapak. Untungnya mereka nyadar ada cwe cantik yang terselip di antara mereka jadi mereka agak memberikan ruang untuk bernafas. Dan aku diberi tempat duduk. Hehe,, bangganya jadi cwe, hihihi..
4. Kalau memang ruang sidangnya benar, maka tunggulah 3-4 jam lagi sampai nama kita dipanggil.
5. Setelah dipanggil, segeralah menghampiri petugas yang memanggil kita itu, dan dalam sekejap saja –kurang dari 1 menit- barang bukti yang disita dapat kita ambil dengan menukarnya dengan sejumlah uang, kalau aku sih 30 ribu.
6. Abiz tuh beres deh...
Singkat kan. Sebenarnya prosesnya cepet cuman berbelit-belit dan banyak kesalahan, kurang koordinator, g da petugas informasi, dan calo yang bikin “panas”. Gimana g bikin “panas”, mereka nyerobot z gitu mendahului kami yang udah ngantri berjam-jam yang lalu. Komentar-komentar meletus dari mulut para pengantri yang menghujam petugas di sana. “atur donk pa, kalian kan polisi!”, “jangan mau makan duitnya aja donk, koordinir yang bener!”, “pa, laper pa!”, “kita mu kerja pa!”, dan masih banyak lagi komentar-komentar ga jelas, luapan dari kekesalan mereka. Hehe, aku hanya tertawa di bangku tunggu persidangan. Sebenarnya banyak hal yang terjadi sebelum proses persidangan itu. Dari yang menarik ampe yang ngejengkelin, ada di sana. Pengalaman yang patut dicoba, he.. tapi kalau yang punya serangan jantung, asma dan yang gampang pingsan, harap jangan mencobanya coz di sana ga da petugas medis yang menjamin keselamatan kita, hehehe, kaya nuntun konser z.
Ceritanya, tanggal 16 Desember 2010, aku melanggar pasal 29 bla bla bla, mungkin isinya tentang tidak memakai helm strandar SNI atau yang sejenisnya. Memang, hari itu aku membonceng teh Leni dari gerbang atas UPI sampai kosannya di belakang terminal Ledeng. Namun, di tengah perjalanan, seorang polisi –yang memang selalu dan sepertinya selamanya bertugas disitu- menyuruhku menepikan mio-ku. Dia menanyakan SIM-ku lalu dengan sepontan aku mengeluarkannya dan ia mengambilnya. Ia pun menyebrang, menuju pos –payung besar- nya. Seseorang memberitahuku untuk mengikutinya.
“Aduh, gimana dong piet?” panik teh Leni.
“Nyante z teh,” sahutku. Heuheu, padahal jantungku dah gak karuan coz ini pertama kalinya aku melanggar peraturan.
Aku pun mengikuti pak polisi itu. Dia mencatat data-dataku di selembar kertas berwarna merah muda. Sembari menunggu surat tilangku selesai, aku melihat secarik kertas yang dilaminating, kertas itu bertuliskan pelanggaran dan denda yang harus dibayar. Untuk pelanggaranku di sana tertulis Rp. 250.000,-. Aku dan teh Leni kaget setengah mati, ya,, untuk ukuran mahasiswi, 10 ribu z terasa 10.000.000 apalagi 250.000, hehehe.. hemh,,, ya sudah lah,, ini konsekuensi yang harus aku bayar, mungkin.. Aku pun pergi meninggalkan pos itu. Aku cerita ke setiap orang yang aku temui. Dan mereka bilang “koq kamu bangga sih??”. He, sebenarnya bukan bangga sih,, cuman pengen bilang-bilang za.. heuheu.. Lalu dari data yang aku peroleh, he, skripsi kalee,, katanya dendanya g kan lebih dari 50ribu. Hem, bebanku mulai agak berkurang, namun teh Leni sepertinya masih dibayang-bayangi rasa bersalah, dia menyelipkan uang 100ribu ke saku seragamku. Aku pun kaget, sepontan aku mengembalikannya dan meyakinkan dia bahwa dendanya ga kan sebesar itu. Aku pun berjanji akan mengajaknya di persidangan nanti, 2 minggu lagi.
Hari itu pun tiba, Selasa 28 Desember 2010, jam 9 tepat kami tiba di polrestabes Bandung. Dan kami dikagetkan oleh sejumlah sepeda motor yang berjenjreng sepanjang jalan kenangan, he, jalan LRE Martadinata yang deket polres –penulis ga tau nama jalan itu-.
“Pit, kq banyakan?! Kirain Cuma kita..” kata teh Leni.
“iya teh,, gapapa atuh jadi ga sendirian”, jawabku.
Dan ternyata kiiiitaaaaa..... ga sendirian banget!! Ada mungkin ratusan orang yang ngantri di pintu masuk ruang persidangan (bahkan katanya mpe 2000 orang). Hufh,,, curiga g kan pulang cepet nie. Kecurigaanku itu terbukti, kami pulang pukul 3 tepat!! Proses yang berbelit-belit membuat kami –para pelanggar peraturan pemerintah- harus mengorbankan sejumlah waktu dan tenaga. Untuk keterangan lebih lanjut, mari kita simak prosenya:
1. Masuk melalui pintu masuk –he, ya iya lah..!- kalau banyak orang, terpaksa mengantri sekitar 15-30 menit.
2. Setelah masuk, cek surat tilang kita, nomornya dan barang bukti yang disita. Kalau tidak salah ruang sidang disana diberi nama seperti nama pewayangan, nakula, sadewa, etc.
3. Kalau masih ragu, tanyakan ke petugas yang ada –kalau ada- dan jangan sambil ngotot ya, hehe.. jangan sampai kaya aku. Masuk keruangan yang salah trus selama 1 jam terhimpit di antara bapak-bapak. Untungnya mereka nyadar ada cwe cantik yang terselip di antara mereka jadi mereka agak memberikan ruang untuk bernafas. Dan aku diberi tempat duduk. Hehe,, bangganya jadi cwe, hihihi..
4. Kalau memang ruang sidangnya benar, maka tunggulah 3-4 jam lagi sampai nama kita dipanggil.
5. Setelah dipanggil, segeralah menghampiri petugas yang memanggil kita itu, dan dalam sekejap saja –kurang dari 1 menit- barang bukti yang disita dapat kita ambil dengan menukarnya dengan sejumlah uang, kalau aku sih 30 ribu.
6. Abiz tuh beres deh...
Singkat kan. Sebenarnya prosesnya cepet cuman berbelit-belit dan banyak kesalahan, kurang koordinator, g da petugas informasi, dan calo yang bikin “panas”. Gimana g bikin “panas”, mereka nyerobot z gitu mendahului kami yang udah ngantri berjam-jam yang lalu. Komentar-komentar meletus dari mulut para pengantri yang menghujam petugas di sana. “atur donk pa, kalian kan polisi!”, “jangan mau makan duitnya aja donk, koordinir yang bener!”, “pa, laper pa!”, “kita mu kerja pa!”, dan masih banyak lagi komentar-komentar ga jelas, luapan dari kekesalan mereka. Hehe, aku hanya tertawa di bangku tunggu persidangan. Sebenarnya banyak hal yang terjadi sebelum proses persidangan itu. Dari yang menarik ampe yang ngejengkelin, ada di sana. Pengalaman yang patut dicoba, he.. tapi kalau yang punya serangan jantung, asma dan yang gampang pingsan, harap jangan mencobanya coz di sana ga da petugas medis yang menjamin keselamatan kita, hehehe, kaya nuntun konser z.
Subscribe to:
Posts (Atom)